Selasa, 17 Mei 2011

pembangunan daerah

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
Pembiayaan untuk daerah tertinggal nampaknya mengalami kenaikan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB-2). Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) sumber, yakni dari APBN dan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMN/S).
Berdasarkan evaluasi tahun ini, indikasi aliran dana APBN ini diantaranya adalah untuk program di bidang operasionalisasi kebijakan pada Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Kemudian, Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), dengan tujuan melakukan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan kondisi sosial ekonomi di daerah-daerah pasca konflik.
Selanjutnya, Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), dengan tujuan mengembangkan kawasan produksi untuk penguatan perekonomian lokal di daerah tertinggal. Berikutnya, untuk kegiatan Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT), Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) dan Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP).
Hingga tahun ini masih ditemukan beberapa permasalahan yang menjadi kendala dan hambatan dalam pembangunan daerah tertinggal. Hambatan tersebut diantaranya Pertama, masih terdapat kesenjangan (disparitas) pembangunan antar wilayah yang ditandai dengan adanya wilayah-wilayah tertinggal.Kedua, perhatian pembangunan kawasan perbatasan yang masih menitik beratkan pendekatan keamanan dibanding kesejahteraan. Ketiga, permasalahan aspek pengembangan ekonomi lokal yaitu keterbatasan pengelolaan sumber daya lokal dan belum terintegrasinya dengan kawasan pusat pertumbuhan.
Keempat, permasalahan aspek pengembangan sumber daya manusia yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kelima, permasalahan aspek kelembagaan, terutama rendahnya kemampuan kelembagaan aparat dan masyarakat.Keenam, permasalahan aspek sarana dan prasarana terutama transportasi darat, laut, dan udara, telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah. Ketujuh, permasalahan aspek karakteristik daerah terutama berkaitan dengan daerah rawan bencana (kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, dll) serta rawan konflik sosial.
Fokus pembangunan daerah tertinggal dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal KPDT telah menetapkan tema Green Development. Tema tersebut sebagai spirit dan orientasi pembangunan daerah tertinggal yang meliputi Pertama, Green Energy melalui kegiatan P2IPDT dengan target terbangunnya infrastruktur di 148 Kabupaten;Kedua, Green Estate melalui kegiatan P4DT dengan target pengembangan pusat pertumbuhan di 20 Kabupaten, dan melibatkan 816 kelompok masyarakat.
Ketiga, Green Bank melalui kegiatan P2KPDT dengantarget pengembangan kawasan produksi di 105kabupaten, 360 desa dengan melibatkan 1.440 kelompokmasyarakat.Keempat, Green Movement melalui kegiatan P2SEDT dengan target penguatan kelembagaan masyarakatdi 148 Kabupaten, melibatkan 1.480 kelompok masyarakatdan 14.800 kader penggerak pembangunan.Kelima, Green Belt melalui kegiatan P2WP dengan target pengembangan daerah perbatasan di 18 Kabupatendan P2DTK di 8 provinsi, 32 Kabupaten, 186 kecamatan, 2496desa, serta dilaksanakan fokus kegiatan Desa.
Dana CSR Daerah Tertinggal
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini meminta dunia usaha mengarahkan dana tanggung jawab sosial perusahaannya (Corporate Social Responsibility, CSR) untuk daerah tertinggal. Hal itu dikemukakan saat berdialog dengan sejumlah pengusaha dari perusahaan besar di kantornya, di Jakarta, pertengahan bulan Maret 2010 lalu.Bahkan, ke depan menargetkan 65 persen pembiayaan pembangunan daerah tertinggal diambil dari dana CSR. Potensi dana CSR di Indonesia mencapai Rp9,7 triliun, jika pemanfaatannya tepat, maka masalah ketertinggalan bisa dipecahkan.
Kementerian PDT, pada dasarnya, memiliki data lengkap tentang daerah tertinggal, termasuk potensi dan masalah yang dihadapi, dan mempersilakan dunia usaha memilih daerah mana yang akan mereka jadikan lokasi penyaluran dana CSR mereka. Kementerian PDT tidak mempunyai prioritas khusus daerah tertinggal mana yang harus diberikan bantuan dana CSR, hanya saja berharap penyaluran dana itu tidak terpusat di Jawa.Selain itu, potensi dana CSR yang begitu besar tersebut diharapkan bisa menyentuh ranah pembangunan yang tidak terlayani oleh pemerintah, misalnya pembangunan jalan poros desa. Ini jalan yang sangat vital bagi mobilitas kegiatan ekonomi desa tertinggal, namun tidak masuk dalam program di Kementerian Pekerjaan Umum. Atas dasar itu, CSR bisa masuk di situ.
Dana CSR, pada intinya, juga bisa disalurkan untuk kegiatan produktif di daerah tertinggal, misalnya untuk membantu usaha garam di Kabupaten Sampang, Madura. Dana CSR bisa disalurkan bagi kegiatan produktif seperti usaha garam tersebut dimana mampu pula menyerap tenaga kerja yang besar.Tentu, pembangunan daerah tertinggal semakin besar dimana tidak hanya mengandalkan dari APBN (walau harus ditambah dengan APBD), namun himbauan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal kepada para pengusaha besar (baik BUMN maupun BUMS) akan memperbesar proses percepatan penbangunan daerah tertinggal.
Meskipun para pengusaha mampu menyisihkan dana CSR-nya untuk pembagunan daerah tertinggal, namun mekanisme koordinasi pilihan daerah tertinggal yang akan dibangun itu hendaknya dilakukan antara dana APBN/APBD dengan dana CSR tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih di dalam pelaksanaannya.Pembangunan daerah tertinggal yana pertama kali diutamakan adalah daerah yang diharapkan nantinya akan bisa dijadikan sebagai daerah-daerah yang mampu mengalami pertumbuhan yang tinggi, growth poles. Dengan daerah tersebut mampu bertumbuh tinggi, diharapkan daerah ini akan mampu menarik daerah-daerah tetangganya untuk bertumbuh lebih baik. ( HS )
Dikutip dari: http://bataviase.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar